Minggu, 10 Juli 2011

FILSAFAT YANG TERKANDUNG DI DALAM YAKSHOPAKHYANA


Sri Swami Krishnananda Sarasvati. 
Kebaikan dan kejahatan saling berlawanan, baik di dalam setiap individu maupun di seantero alam objektif ini. Pertempuran antara keduanya  merupakan suatu perjuangan berlanjut demi kemenangan Kebenaran atas Ketidak-benaran. Kebaikan adalah bergeraknya ego ke arah Kebenaran, apakah itu melalui pemikiran, ucapan pun tindakan. Pada sisi lain, kejahatan adalah proses penegasan ego melalui pemeliharaan-diri dan proklamasi-diri. Semakin dekat ego dengan Kebenaran, semakin besar cahaya yang diterimanya dari Kebenaran. Oleh karena itu, kebaikan dibimbing oleh Ketuhanan. Kuasa kebaikan senyatanya adalah kuasa dari Sang Atman di dalam. Kuasa, kebesaran dan kemuliaan dari sosok individu sama sekali bukanlah kepunyaan dari individu itu sendiri. Mereka pinjaman dari Sang Atman, dari Sang Diri-Jati; individu hanya dilewati untuk suatu ciptaan agung, meskipun sesungguhnya ia tidaklah besar. Hanya rasa bangga dan kesombongannya sajalah yang membuat seseorang merasa bahwa ia punya kebesaran, pengetahuan ataupun kekuasaan. Proklamasi-diri kerdil ini harus enyah secara total sebelum Ketuhanan bisa direalisasikan.
Kisah tentang penampakan Yaksha di dalam Kenopanishad menggambarkan pemadaman dari rasa bangga-diri ini. Pemadaman rasa bangga-diri ini sangat diperlukan, sebelum realisasi dari perwujudan Ketuhanan itu sendiri terjadi. Penghentian total individualitas— melalui sebentuk pemutusan ego menggunakan pengetahuan —diperlukan sebelum realisasi Diri-Jati terwujud. Tanpanya, seseorang tidak layak bagi pengalaman yang teramat agung ini.
Di dalam kisah ini, Yaksha mewakili Brahman Yang Tertinggi. Agni mewakili suara atau sabda. Vayu mewakili prana atau daya-vital ataupun pikiran. Indra mewakili ego itu sendiri. Dan Dewi Uma mewakili pengetahuan. Namun, untuk Kesaksian Agung itu, sabda dan prana tidak dapat berbuat apa-apa. Pikiran tidak bisa berpikir; para dewa degan kemegahannya tidak mampu mengguncangkan hanya sehelai jerami. Sabda dan prana dikatakan mendekati Yaksha atau Brahman, tetapi mereka tidak mampu memahami mahluk itu. Sabda memang dapat menyatakan, prana-pun dapat mempertunjukkan, dan pikiran dapat berpikir tentang suatu aspek dari Kebenaran, suatu aspek tentang  penjelmaan-Nya dalam Yaksha itu misalnya. Tetapi sabda, prana dan pikiran tidak bisa mengetahui Kebenaran ini. Mereka boleh saja menunjukkan kesombongan mereka di dalam berusaha memahami Kebenaran, tetapi usaha mereka akan gagal kendati hanya untuk memahami yang berhubungan dengan aspek terkecil-Nya— seperti seutas jerami yang disajikan di hadapan mereka itu— sekalipun. Ini dimaksudkan untuk mengatakan bahwa setetes pengetahuan intuitif-pun tidak diberikan kepada sabda, prana ataupun pikiran guna memahami-Nya. Mereka kembali tak berdaya di hadapan-Nya.
Ketika Indra atau ego, mendekati Makhluk Ilahi itu, ia lenyap; ia menarik format manifestasinya. Tidaklah mungkin bagi ego untuk datang secara langsung berhadap-hadapan dengan Yang Absolut. Ini tak-ubanya sebuah boneka garam yang masuk ke dalam samudra. Tidaklah mungkin bisa mempertahankan wujud apapun. Wujud akan lenyap dari penglihatan. Lebih dari itu, karena ego adalah pusat kesombongan dan kebanggaan diri, Beliau tidak akan menjelmakan-diri-Nya di hadapan ego. Pada sisi lain, kalaupun ego tetap berusaha untuk mengetahui Kebenaran ini misalnya, dimana ia tidak mengalami kegagalan, dengan sangat tekun mengupayakannya, atas kemurahan-hati-Nya, Dewi Pengetahuan akan diturunkan juga kepadanya.
Pengetahuan diwakili oleh Dewi Uma; beliaulah Kuasa Ilahi yang nampak duluan; bukan Beliau Sendiri. Pengalaman yang pertama bukanlah Ketuhanan itu sendiri, melainkan berasal dari sattva-guna. Sebuah guna adalah suatu gaya dari Prakriti, dan oleh karena itu, ia digambarkan sebagai wanita, sebagai sosok Sakti, atau suatu ekspresi Ketuhanan. Dewi Uma-lah yang memberitahu Indra tentang Yaksha, ketika Indra ada dalam status sattva, ego dibersihkan dari semua bentuk kebanggaan diri dan iapun bisa mengenali sifat alami Tuhan. Ini masih selangkah di bawah Pengalaman Ilahi. Manakala Dewi Uma-pun lenyap—yang adalah manakala sattva-guna ditransendensikan juga—sifat alami dari Yaksha-pun terungkap. Hadir perwujudan Brahman ketika semua gunatamas, rajas dan sattva—berturut-turut dibuang. Di dalam Pengalaman Diri-Jati, ego hancur.
Indra berbicara tentang pengetahuan Brahman kepada Agni dan Vayu. Ini merupakan penggambaran dari pengalaman di dalam tentang disampaikannya pengetahuan itu dengan menyalurkannya kepada ucapan, pikiran, dan yang lainnya. Fungsi-fungsi eksternal hanya mungkin bila dikarenakan oleh pengalaman di dalam—oleh Agni, Vayu dan Indra—yang dianggap sebagai yang terbaik di antara para dewa; tidaklah mungkin bagi fungsi-fungsi kita yang lainnya untuk menyatakan Makhluk Ilahi itu, kendati hanya sedikit saja. Hanya ucapan, prana dan pikiran atau ego sajalah yang mempunyai sejenis hubungan dengan-Nya, meskipun ini tidak bisa juga sepenuhnya menyatakan-Nya.
Pelajaran lain yang juga diberikan oleh kisah ini adalah, bahwa Brahman Itu Ada. Jika Beliau tidak ada, maka hal lain mesti ada. Apa yang lain itu? Mungkin saja alam semesta atau dunia dipegang orang sebagai ada. Dan karena alam semesta adalah suatu koleksi dari individu-individu, maka ini berarti bahwa individu adalah riil. Akan tetapi nyatanya individu ini hanyalah suatu titik-tekan dari sang ego. Jika ego adalah riil, maka ia haruslah berhasil dalam setiap usahanya. Namun faktanya tidaklah demikian. Dan ini secara konstan menunjukkan kalau ia sebetulnya tidaklah riil. Lebih dari itu, ego setiap saat mesti tunduk; apakah itu dikarenakan oleh agen-agen internal ataupun eksternal.
Suatu hari nanti, semua ego akan terkikis habis. Duka-cita di dunia ini adalah pengalaman atau pembelajaran akan proses pengikisan ego itu. Tidaklah perlu bagi-Nya untuk menjelma ke dalam sebentuk wujud yang luar biasa besar untuk menundukkan ego seseorang. Dia akan menjelmakan-diri-Nya dengan pasti, dalam  sebentuk wujud yang dibutuhkan oleh sejenis egoisme tertentu. Ego yang tinggi kadarnya memerlukan kuasa-kuasa yang lebih tinggi, dan yang lebih rendah hanya butuh kuasa-kuasa rendahan demi penaklukannya. Dia nampak mengambil sebentuk wujud tertentu bukan lantaran berkeinginan untuk mewujud seperti itu, melainkan wujud itulah yang dibutuhkan oleh orang-orang sebagai rekan pendamping ego-nya dalam rangka mengintegrasikan diri mereka dengan cara ditiadakan oleh wujud jelmaan itu. Dengan kata lain, setiap bentuk pengalaman adalah ungkapan suatu kebutuhan yang dirasakan di dalam.  
Kegagalan ego untuk menyatakan kemerdekaannya menunjukkan bahwa Kesujatian haruslah non-ego. Non-ego berarti tak terbatas, yang memastikan fakta akan keberadaan Brahman Yang Tertinggi. Brahman nampak sepertinya bisa dipahami dalam tataran ucapan, pemikiran dan dan tindakan. Terasakan adanya sejenis pengetahuan akan realitas manakala fungsi-fungsi individu ini berlangsung dengan senang-hati. Ini adalah arti dari visi Yaksha oleh Agni dan Vayu.
Namun, pengertian akan Brahman melalui fungsi-fungsi individu ini hanya dangkal saja; bahkan ketika Agni dan Vayu dapat menyaksikan Yaksha itu mereka tidak bisa memahami-Nya. Ketika fungsi-fungsi individu ini dikalahkan, dimana mereka kembali dengan menanggung malu, menerima kekalahan mereka—yaitu ketika mereka merasa tidak besar lagi dan oleh karenanya menghentikan usaha mereka lebih lanjut—Indra atau ego memulai penyelidikannya sendiri akan Brahman. Tetapi ego tidak bisa punya pengetahuan Brahman—kendati yang superfisial—seperti yang dipunyai oleh fungsi-fungsi eksternal lainnya itu sekalipun. Ketika ego mendekati Brahman, saat itu nampak seperti terjadi kehilangan semua objek pengetahuan; Yaksha lenyap dari penglihatan. Indra mempermalukan dirinya sendiri; ego mesti binasa, jika sifat alami-Nya hendak diungkap. Makanya, disini ego nampak kurang dibanding fungsi-fungsi lain. Ia nampak tidak seberuntung fungsi-fungsi lainnya, yang setidak-tidaknya  mengalami visi akan Yaksha itu. Tetapi sesungguhnya, lenyapnya pengetahuan objektif ini merupakan tanda dari kehadiran Pengetahuan Absolut. Proses pemutusan individualitas nampak seperti matinya segenap kesadaran, meskipun itu merupakan pintu gerbang menuju kesadaran abadi. Kebahagiaan yang terbesar didahului oleh sakit yang terbesar pula. Panunggalan Absolut senantiasa didahului dengan hancurnya multiplisitas dan dualitas. Objek persepsi harus luluh; Yaksha mesti sirna kalau Brahman hendak terrealisasikan. Kemunculan dari keserbatahuan adalah suatu status tengah-tengah, di antara pengalaman individual dengan Pengalaman Absolut, dimana status pertengahan itu diwakili oleh kemunculan Dewi Uma.
Perlu dicatat juga bahwasanya, kemunculan Yaksha hanya terjadi setelah menangnya para dewa atas para asura; yang berarti bahwa, pengetahuan itu hanya mungkin setelah kemenangan dari kebajikan atas kejahatan —yang adalah tatkala kecenderungan-kecenderungan hewani sepenuhnya tertaklukkan.
Kisah ini mengajarkan kita bahwa, kecuali pengetahuan Brahman, semuanya hanyalah hal yang remeh-temeh saja. Kemuliaan dunia ini kurang dari seutas jerami. Yang terbesar di antara para dewa sekalipun tiada artinya di hadapan Brahman. Bahkan raja dari para dewa (Indra) tidak ada apa-apanya di hadapan-Nya. Kisah ini juga menunjukkan bahwa sangat sukar untuk menyadari Brahman, bahkan yang terbaik di antara para dewa saja gagal dalam usaha mereka. Lebih jauh lagi, itu menunjukkan kalau Agni, Vayu dan Indra hanya menjadi besar melalui pengetahuan Brahman. Brahmajñana adalah kebesaran dan kemuliaan tertinggi. Adalah sia-sia untuk berpikir bahwa individu manapun punya kuasa untuk bertindak atau untuk menikmati.
Hanya Brahman Yang Ada, tak ada yang lain.
Dicuplik dan diterjemahkan oleh Ngurah Agung dari: Essays on the Upanishads.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar