Kamis, 07 Juli 2011

BAB II Petunjuk-petunjuk demi tercapainya kemanusian yang berbudaya dan beradab


1.   ”Resi Narada berucap : Wahai Raja yang kuhormati, ada sementara Brahmana yang sangat tertambat pada perbuatan-perbuatan yang menghasilkan pahala, ada Brahmana yang terikat kepada tata-cara dan berbagai tapa-brata, dan walaupun demikian, ada juga sebagian kecil yang melestarikan ilmu pengetahuan dan mengajarkan berbagai bentuk yoga, khususnya bhakti-yoga.” 
2.   ”Seseorang yang menghasratkan pembebasan dirinya atau bagi leluhurnya harus memberikan dana-punia kepada seorang Brahmana yang telah menyatu dengan Yang Maha Esa (Jnana-nistha, yaitu yang telah meninggalkan ikatan-ikatan materi duniawinya). Seandainya Brahmana dengan status yang agung ini tidak dapat ditemukan maka dana-punia ini dapat diberikan kepada seorang Brahmana yang terbius oleh aktifitas-aktifitas yang menghasilkan pahala (karma-kanda).”
Keterangan : Kata Brahmana di atas ini jangan dianggap mutlak sebagai seorang pendeta, pedanda, atau pemangku penyelenggara sebuah upacara agama, tetapi lebih bermakna sebagai seorang pemuja Yang Maha Esa yang telah mendwijati secara alami (seorang bhakta yang bersifat mistik), dan Beliau ini bisa pria bisa wanita atau bisa seorang waria dan bisa juga seorang pendeta, pedanda, pemangku dan sebagainya. Biasanya insan yang agung ini bersifat sangat sederhana, mandiri dan tidak menyusahkan orang lain ataupun mengharapkan belas-kasih orang lain, itulah sebabnya ia disebut jnana-nishta dan insan-insan jenis ini sangat disayangi oleh Yang Maha Kuasa. Statusnya dianggap jauh lebih tinggi dari para Brahmana yang hidup dengan mengharapkan pahala, golongan terakhir ini disebut sebagai karma-kandis atau juga jnana-kandis.
Di salah satu sastra Hindhu kuno yang dikenal dengan nama Hari-bhakti-vilasa, pada bab 10 sloka 127, dikatakan : “walaupun seseorang itu adalah seseorang yang sangat terpelajar dalam bidang Veda, ia tidak akan Aku terima sebagai pemujaKu kalau baktinya tidak bersifat murni. Di lain sisi, seandainya ada seseorang yang lahir dari keluarga hina (pemakan anjing, chandala), ia bisa menjadi kesayanganKu, seandainya ia tidak memiliki pamrih dan tidak mengharapkan pahala atau berspekulasi dengan pikirannya. Seyogyanya ia harus mendapatkan semua bentuk kehormatan, dan apapun yang ia persembahkan harus diterima. Para pemuja ini boleh dipuja seperti seseorang yang memujaKu. 
3.   ”Pada saat menghaturkan persembahan kepada para dewa-dewi, seseorang harus mengundang 2 orang Brahmana, dan sewaktu menghaturkan persembahan kepada para leluhur (pitra-karya, pitra-yadnya), maka seseorang boleh mengundang tiga orang Brahmana. Atau untuk kedua bentuk pelaksanaan ini seorang Brahmana sebenarnya sudah memadai. Walaupun seseorang itu teramat kaya-raya, ia sebaiknya tidak memaksakan diri untuk mengundang lebih banyak Brahmana ataupun menghambur-hamburkan biaya yang besar demi terselenggarakannya upacara-upacara tersebut.”
 
4.   ”Seandainya, seseorang ingin menghaturkan persembahan dalam jumlah yang besar kepada para Brahmana atau keluarganya di saat mengadakan upacara sradha, maka akan timbul berbagai kemubaziran yang berhubungan dengan waktu, tempat, kehormatan dan bahan-bahan untuk santapan, dan juga tata-cara penghaturkan upacara.”
Keterangan : Jelas sekali di sloka ini bahwa hal-hal yang bersifat mubazir atau sia-sia tidak dilakukan, dan ini adalah ajaran Resi Narada itu sendiri kepada Raja Yudhistira yang terkenal bijaksana, toh disindir juga oleh Sang Resi karena upacara sang raja yang serba wah.
5.    ”Seandainya seseorang mendapatkan sebuah kesempatan dan lokasi yang sangat tepat (untuk sebuah upacara), maka ia harus, penuh dengan cinta-kasih, menghaturkan sesajen yang dipersiapkan dengan mentega murni (ghee) kepada Yang Maha Esa dan lalu kepada seseorang yang seharusnya menerima yaitu seorang vaisnawa (pengikut Kresna atau Maha Vishnu dan semua reinkarnasiNya), atau kepada seorang Brahmana. Hal ini akan menghasilkan suatu kehormatan yang bersifat abadi.”
Keterangan : Ghee atau mentega murni adalah makanan sehari-hari orang India dan Barat, cara membuatnya adalah dengan mendidihkan berliter-liter susu, kemudian kepala susu yang terbentuk dari susu panas ini dipisahkan dari sisa susu dan dimasak ulang dengan api yang kecil, dan hasilnya adalah mentega murni. Proses pemasakan ini bisa memakan waktu sehari penuh bahkan untuk jumlah kecil sekalipun. Tetapi ghee bisa digantikan dengan minyak vegetarian apapun juga bagi yang tidak mampu mendapatkannya atau demi menghemat biaya, tidak ada peraturan tertentu bahwa sesajen itu harus ghee, sebenarnya ghee dipersembahkan karena Sri Kresna kecil sebagai penggembala adalah penggemar ghee, juga ghee merupakan simbol bahwa susu itu sebenarnya mengandung mentega murni yang sangat bergizi tinggi dan harus dijadikan suplemen bagi manusia Hindu, itulah sebabnya sapi dimuliakan dan diibaratkan sebagai ibu setiap insan, sedangkan daging sapi adalah unsur paling busuk diantara semua daging dan tidak merupakan santapan orang Hindu, mereka yang mengaku Hindu tetapi masih menyantap daging sapi dengan alasan apapun juga tidak bisa dianggap sebagai pengikut dharma. Lalu di Indonesia khususnya di Bali yang banyak menyantap daging sapi ini bisa dianggap kafir oleh Hindu India. Memang demikian asumsi tersebut dan sering pengikut Hindhu bali yang masih berstatus chandala (kafir) ini karena dianggap pemakan daging ibunya dilecehkan oleh pengikut Hindhu India. Tentu saja fenomena ini tidak sehat walaupun tidak ada yang mewisudi, kita semua dapat melakukan upacara wisudi itu terhadap diri kita sendiri. Caranya, yang ingin melepaskan memakan daging sapi, kerbau atau sejenisnya mencari suatu hari yang baik, lalu berpuasa dari waktu ia bangun pagi dan tidak menyantap sesendok makanan ataupun seteguk air minum, sampai sore hari sekitar pukul 18.00, lalu mandi sebersih-bersihnya, menghaturkan sedikit sesajen yang bersifat vegetarian disertai sedikit bunga, dupa dan air suci kepada Yang Maha Kuasa dalam bentuk wujud (istha) yang diyakininya. Upacara kecil ini bisa dilakukan di pura atau di ruang pribadinya sendiri, di mrajan atau di sebuah lokasi yang dikehendaki, boleh dihadiri oleh siapapun juga atau boleh dilakukan sendiri. Sediakan sedikit susu yang telah dimasak atau yang sudah dalam kemasan, tambahkanlah pada susu ini sehelai daun Tulasi kalau ada, kalau tidak ada tidak apa-apa, bisa juga ditambahkan beberapa kelopak bunga mawar, melati, kenangga, sandat dan sebagainya.
Haturkan susu ini kepada Sri Kresna Vasudewa, kemudian bacalah mantra Maha Gayatri di bawah ini secara tulus dan mohon kepada ibu dari seluruh alam semesta, yaitu Bunda Gayatri, yang merupakan wujud Prakriti dari Yang Maha Esa itu sendiri. Gayatri terdiri dari gabungan lima unsur Prakriti di alam semesta ini yang merupakan medium dan pengantar ke sang ayah yaitu Maha Purusha itu sendiri, Yang Maha Pencipta. Gayatri merupakan gabungan dari Kali, Durga, Saraswati, Laxmi dan Uma (pertiwi). Mohonlah kepada Dewi Gayatri agar sejak saat itu, diperkenankan untuk tidak menyantap daging sapi dan sejenisnya lagi. Bacalah maha mantra Gayatri ini, lalu setiap pagi dan malam kalau bisa memuja atau berdhyana dengan mantra tersebut. Hasilnya akan menakjubkan sekali.
MAHA GAYATRI
Om Bhur, Om Bwah, Om Swah, Om Maha, Om Jana, Om Tapa, Om Satyam, Om Tat Savitur, Vareniyam Bhargo, Devashya Dimahi, Diyo yo na Pracodayat, Om apo jyoti, Rasho martam, Brahma, Bhur, Bwah, Svar, Om shanti shanti shanti, Om Tat Sat. 
Bagi yang ingin menjadi vegetarian, lakukan hal yang sama dan bagi yang ingin sekaligus lepas dari daging sapi, semua jenis mahluk hidup dan telur juga dapat melakukannya sama seperti di atas. Akan terjadi keajaiban bagi yang meyakininya. Semoga shanti datang dari segala penjuru kepada sang bhakta yang mulia ini.
6.       ”Pemuja tersebut harus menghaturkan sesajen kepada dewa-dewi, kepada para kaum suci, para leluhur, orang-orang pada umumnya, kerabat, keluarga dan teman-teman beserta para relasi, dan menganggap mereka semua ini sebagai pemuja Tuhan Yang Maha Esa.” 
7.       ”Seseorang yang sadar secara total akan prinsip-prinsip keagamaan seharusnya tidak menghaturkan sesajen dalam bentuk daging hewan, telur ataupun ikan, sewaktu melaksanakan upacara shradha. Sewaktu suatu jenis makanan disajikan dengan tambahan ghee (mentega murni) kepada para kaum suci, maka pelaksanaan ini akan menyenangkan hati para leluhur dan Yang Maha Esa, mereka ini tidak pernah senang sewaktu hewan-hewan dibantai demi mengatas-namakan sesuatu upacara.” 
8.    ”Seseorang yang berhasrat untuk maju dalam penitian jalan spritualnya yang lebih tinggi dianjurkan untuk melepaskan segala ikatan (duniawi)nya dengan berbagai mahluk-mahluk hidup lainnya, baik itu secara ragawi, dengan menggunakan kata-kata atau pikiran. Tidak ada sesuaru (ajaran) agama yang lebih tinggi dari hal ini.” 
9.   ”Akibat dari bangkitnya pengetahuan spritual, maka mereka yang cerdas intelegensinya dalam bidang pengorbanan (yadnya), yang sebenarnya sadar akan hakikat sesungguhnya dari prinsip-prinsip keagamaan dan lepas dari hasrat-hasrat duniawi, akan mengendalikan diri mereka melalui api spritual ilmu pengetahuan, atau melalui ilmu pengetahuan akan kebenaran Yang Maha Hakiki. Orang-orang ini akan meninggalkan proses upacara-upacara yang sarat dengan ritual.” 
10. ”Menyaksikan para pelaksana upacara pembantaian hewan, maka para hewan-hewan yang akan dipersembahkan menjadi amat ketakutan dan berpikir : “Orang-orang kejam ini, yang tidak sadar akan hakikat dan tujuan pengorbanan (yadnya) dan merasa puas dengan membunuh sesama mahluk, akan pasti membunuh kami.” 
11. ”Oleh karena itu, hari demi hari, seseorang yang sebenarnya sadar akan prinsip-prinsip agama dan tidak bersikap zalim terhadap hewan-hewan yang merana ini, seharusnya setiap harinya melaksanakan yadnya dengan penuh suka-cita, dan begitu juga untuk berbagai kesempatan-kesempatan lainnya dengan sesajen apa adanya yang tersedia secara mudah berkat karunia Yang Maha Esa. 
12. ”Ada lima cabang non-religius yang dikenal dengan sebutan Vidharma (non-religius), prinsip agama bagi seorang yang tidak pantas (para-dharma), beragama secara pura-pura (abhasa), agama yang bersifat anologikal (upadharma) dan agama yang menipu (chala-dharma). Seseorang yang sadar akan hakikat kehidupan agama yang benar harus menjauhi kelima faktor non-religius ini.”
13. ”Prinsip agama yang menghalangi seseorang dari jalan agamanya sendiri disebut Vidharma. Prinsip-prinsip agama yang diperkenalkan (diajarkan) oleh orang-orang lainnya disebut para-dharma. Agama baru yang diciptakan seseorang yang munafik dan yang berlawanan dengan prinsip-prinsip Veda disebut Upadharma. Dan mengartikan prinsip-prinsip agama secara berolok-olok disebut Chala-dharma.”
Keterangan : Hindhu (Sanatana) Dharma adalah suatu budaya atau kultural yang adi-luhung (sangat tinggi secara etika dan kultural) dan berlandaskan kesadaran spritual yang teramat dalam. Semenjak permulaan zaman para resi sadar akan ajaran-ajaran agama yang penuh dengan ego pribadi, akan ajaran agama yang lurus dan benar, yang menyesatkan, dan bahkan yang memperolok-olok agama sendiri maupun ajaran agama lain.
 
14. ”Sebuah cara pengajaran agama yang dibuat-buat, yang dirancang oleh seseorang yang secara sengaja mengabaikan kewajiban-kewajiban (setiap indvidu sesuai dengan varnanya) disebut abhasa (persamaan yang palsu / imitasi). Tetapi seandainya seseorang menjalankan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan sistim varna dan asramanya, mengapa mereka tidak mampu untuk mengatasi (menghancurkan) berbagai kedukaan material mereka ?
 
15. ”Walaupun seandainya seseorang itu miskin harta, ia tidak seharusnya mati-matian memperbaiki kehidupan ekonominya demi pemuasan jiwa dan raganya atau demi menjadi seorang penyandang agama yang terkenal. Ibarat seekor ular sanca, walaupun tinggal si suatu tempat, dan tidak berusaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, toh sang makanan datang sendiri dan mencukupi kebutuhan jiwa dan raga ular tersebut. Demikian juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi juga dengan seseorang yang tanpa pamrih duniawi mendapatkan kebutuhan tanpa bersusah payah.”
Keterangan : Ada suatu hukum alam yang unik dan serba misterius di dalam dunia fauna dan flora yang berlaku juga bagi manusia karena kita sebenarnya adalah salah satu bagian dari ciptaan Yang Maha Luas ini.
Yang Maha Esa telah menciptakan setiap jajaran mahluk hidup ini dengan jatah kehidupannya sehari-hari, yang penting kita bekerja sesuai dengan kodrat / varna kita dan puas dengan apapun yang diberikan olehNya, kita bekerja sekuat tenaga atau semampu kita dan kemudian menyerahkan hasil dari pekerjaan kita kepadaNya untuk diolah dan dikembalikan lagi kepada kita sesuai dengan kehendakNya, jadi janganlah karena tetangga memiliki TV baru kita lalu mati-matian harus punya juga bahkan kalau perlu dengan korupsi atau menempuh segala jalan yang yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Anak-istri, teman dan keluarga selalu merasa kekurangan, selalu membanding-bandingkan kekurangan kita dengan orang lain, kalau dituruti semua ini kita tidak akan pernah punya waktu luang untuk mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mengkaruniakan kehidupan spritual ini kepada kita. Ular sanca adalah suatu fenomena siklus alam yang menakjubkan, walaupun nampak seram sebenarnya ular ini hanya makan setahun sekali atau dua kali saja, itupun biasanya sang mangsa datang sendiri kearahnya. Begitu juga dengan singa atau binatang buas lainnya, biasanya mereka hanya makan secukupnya dan lebih banyak puasa dari pada makan terus menerus, manusia dianjurkan untuk belajar dari fenomena ini, yang dimaksudkan makanan di sini adalah pencarian harta benda secara tidak ada henti-hentinya dan memakai segala cara yang tidak benar sesuai dharma. 
16. “Seseorang yang merasa cukup dan puas (dengan apa yang didapatkannya sehari-hari) dan yang menghubungkan (menyerahkan) setiap pelaksanaannya aktifitasnya sehari-hari kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam setiap manusia, akan menikmati kebahagiaan transendental tanpa berusaha mati-matian demi kehidupannya. Bagi seseorang yang bergerak kesana kemari dengan tujuan materi yang berlandaskan nafsu dan keserakahan, yang hanya beraktifitas demi menumpuk kekayaan belaka tidak akan tersedia kebahagiaan ini.” 
17. "Bagi seseorang yang mengenakan sepatu yang sesuai dengan ukuran kakinya, tidak akan ada bahaya walaupun ia berjalan diatas kerikil ataupun di atas duri-duri (yang tajam). Baginya semua itu wajar-wajar saja. Demikian dengan seseorang yang selalu merasa puas, baginya tidak hadir penderitaan, sebenar-benarnya ia merasakan kebahagiaan di dalam situasi apapun ia berada.” 
18. ”Wahai Raja yang kuhormati, seorang yang puas dengan dirinya sendiri mampu merasakan kebahagiaan walaupun hanya dengan minum seteguk air. Tetapi bagi yang dihela oleh berbagai indra-indranya, khususnya oleh lidah dan alat kelaminnya, harus menerima statusnya (ibarat) seekor anjing penjaga rumah yang hidup dengan memuaskan indra-indranya.” 
19. ”Diakibatkan oleh keserahkahannya demi mengikuti hasrat-hasrat sensualnya (indra-indranya) maka kekuatan spritual, ilmu pengetahuan, tapa-brata dan reputasi dari pemuja atau Brahmana yang tidak puas akan dirinya ini lambat-laun akan menghilang.” 
20. ”Seseorang yang raganya lapar dan dahaga dan menghasratkan kebutuhan badannya ini akan merasa terpuaskan setelah ia selesai menyantap sesuatu. Demikian juga seandainya seseorang merasa marah, kemarahan tersebut akan terpuaskan karena pelampiasan dan reaksi-reaksinya. Tetapi walaupun seseorang itu telah menguasai keempat penjuru dunia atau telah menikmati semua kenikmatan di dunia, tetap saja keserakahan itu tidak terpuaskan.” 
21. ”Wahai Raja Yudhistira, banyak manusia dengan berbagai ragam pengalaman, dan banyak cendekiawan dan banyak manusia yang menjadi pemimpin berbagai dewan jatuh ke dalam kehidupan neraka akibat tidak pernah puas dan sentosa dengan posisi (status yang telah mereka capai, hal ini disebut asantosat).”
 Keterangan : jangankan secara materi secara spritualpun seseorang tidak dianjurkan untuk bersifat serakah. Ada ajaran yang menganjurkan agar para siswanya harus mati-matian menjalani berbagai tapa-berata demi mendapatkan kesaktian ini-itu, bahkan banyak guru-guru palsu menganjurkan para sishyanya unruk selalu dengan segala cara menarik orang lain untuk masuk ke perguruan mereka dan biasanya mereka ini menjanjikan berbagai pahala yang menarik, yang membuat orang-orang bodoh yang serakah tergiur bukan karena ingin mengabdi kepada Yang Maha Esa tetapi demi mendapatkan imbalan pahala duniawi dan spritual. 
22. ”Berlandaskan tekad seseorang merencanakan sesuatu; seseorang harus menanggalkan hasrat-hasrat yang penuh nafsu demi pemuasan indra-indra sensualnya. Dengan jalan yang sama, sambil menanggalkan ke iri-hatian seseorang harus menguasai rasa amarahnya, dengan menimbang akibat-akibat negatif yang diakibatkan oleh kekayaan yang menumpuk maka seseorang harus menanggalkan keserakahannya, dan dengan membahas akan kebenaran seseorang harus menanggalkan rasa takut dan khwatirnya.” 
23. ”Dengan mempelajari (berdiskusi dengan sesamanya) ilmu pengetahuan seseorang akan mampu menguasai rasa kesedihan dan ilusi; dengan berbakti kepada seseorang pemuja agung seseorang bisa berubah menjadi rendah hati, dengan berdiam diri seseorang akan mampu menjauhi halangan di jalan yoga nan penuh dengan mistik, dan dengan menghentikan pemuasan indra-indranya seseorang akan mampu menguasai rasa dengki dan (amarahnya).” 
24. ”Dengan berperi-laku yang baik dan lepas dari rasa dengki seseorang harus melawan penderitaan yang terjadi (karena) interaksi dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, dengan bermeditasi kepada Yang Maha Esa (samadhina) seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh semua pemberian Yang Maha Esa ini (jahyat), dan dengan melaksanakan hatha-yoga, pranayama dan lain sebagainya seseorang harus melawan penderitaan yang diakibatkan oleh raga dan pikiran ini. Dengan jalan yang sama seharusnya seseorang mengembangkan peri-laku yang baik, Khususnya cara bersantap, dan dengan demikian mengalahkan tidur (rasa malas).”
Keterangan : Cara bersantap yang kotor dan bersifat tamasik merusak seluruh sistem raga kita dan juga cara berpikir kita dan akhirnya menimbulkan berbagai penyakit, rasa malas dan tidur yang berkepanjangan. Makanan bukan saja; terdiri dari yang kita konsumsi sehari-hari tetapi bisa juga berupa obat-obatan yang terlarang, rokok, kopi, alkohol, polusi udara dan suara, produk-produk elektronik yang mencemari raga kita dengan berbagai gelombang magnetik, seperti radio, tv, kulkas dan hand-phone dan sebagainya. 
25. ”Seseorang wajib menguasai sifat-sifat penuh nafsu dan kebodohan dengan mengembangkan sifat-sifat kebajikan ini dan menanjak ke tahap suddha-satva. Semua ini bisa dilakukannya secara alami seandainya ia berbakti penuh iman dan dedikasi kepada guru spritualnya. Dengan jalan ini ia dapat secara mudah menguasai pengaruh berbagai sifat-sifat alam.” 
26. ”Seseorang guru spritual secara langsung harus dianggap sebagai (pengganti / medium dari) Yang Maha Esa karena beliau menganugerahkan ilmu pengetahuan ibarat sinar (di dalam kegelapan). Oleh karena itu, seandainya seseorang berpikir secara duniawi bahwa seorang guru spritual adalah manusia biasa, maka seluruh (pelaksana spritualnya) akan kacau-balau. Semua pelajaran ilmu pengetahuan Veda dan penerangan spritual yang didapatkannya diibaratkan seperti seekor gajah yang sedang mandi.”
Keterangan : Tingkah laku kawanan gajah agak aneh. Setelah mandi dan bercanda-ria di sungai, maka biasanya begitu kembali ke darat mereka akan mengambil debu atau tanah dengan belalainya dan menyapukannya ke seluruh tubuhnya. Jadi ini ibaratnya sia-sia saja semua pelajaran dan tuntunan spritual seandainya seorang meremehkan guru spritualnya. Tentu saja yang dimaksudkan di sini adalah guru spritual yang betul-betul handal, sederhana yang tanpa pamrih.
 
27. ”Tuhan Yang Maha Kuasa (Bhagwan) adalah Penguasa seluruh mahluk-mahluk hidup dan alam materi ini. Telapak kaki PadmaNya dicari-cari dan dipuja-puja oleh berbagai resi agung seperti Vyasa. Walaupun demikian, banyak orang-orang yang bodoh yang menganggap Sang Yogeswara ini sebagai manusia biasa.”  
28.  ”Upacara-upacara ritual, prinsip-prinsip agama yang baku tapa-brata, dan berbagai upaya yoga, kesemuanya ini adalah cara-cara untuk mengendalikan pikiran dan indra-indranya, seandainya ia tidak bermeditasi (Dhyana) ke Yang Maha Esa, maka semua pelaksanaan (agama, spritual dan sebagainya) tersebut sama dengan bekerja secara sia-sia dalam kegalauan.”  
29.  ”Ibarat berbagai aktivitas yang dilandasi kewajiban dan ekonomi yang berpahala yang tidak dapat membantu seseorang dalam meniti jalan spritualnya, tetapi sebaliknya malahan menimbulkan keterikatan materi, maka upacara-upacara berdasarkan ritual-ritual Veda tidak akan mampu menolong seseorang yang bukan pemuja Tuhan Yang Maha Esa.”  
30. ”Seseorang yang berhasrat untuk menguasai pikirannya harus meninggalkan keluarganya dan tinggal di sekitar tempat yang tenang, bebas dari lingkungan manusia yang sudah terkontaminasi. Demi pemeliharaan tubuh dan jiwanya, ia harus meminta-minta cukup demi kebutuhan hidupnya saja,”
Keterangan : Anjuran ini hanya berlaku untuk mereka yang ingin menjadi bhiksu, pertapa atau sanyasi. Tetapi ada juga golongan tertentu yang mewajibkan sishya mereka untuk menjadi peminta-minta selama satu atau dua bulan untuk menguji mental mereka. Pada masa kini bisa saja seseorang setelah usia 55 tahun ke atas dianjurkan oleh gurunya untuk meninggalkan keluarga dan usaha penunjang ekonominya untuk beberapa saat atau selamanya demi memasuki kehidupan spritual yang langgeng, biasanya sang guru sudah tahu sishya mana yang memenuhi syarat tersebut. Beberapa waktu yang lalu seorang guru dari Radhaswami Satsangh yang ke jakarta menganjurkan para sishyanya untuk meninggalkan semua kegiatan ekonomi dan pekerjaan mereka selama seminggu dan melakukan sewa bhakti mereka ibarat pelayan di pusat ajaran mereka di daerah Cibubur, Jakarta. Sewa bhakti ini diikuti oleh ratusan murid beliau.  
31. ”Wahai Raja yang kuhormati, seseorang harus pergi sendiri, bertirta-yatra ke tempat-tempat yang suci dan sakral dan mencari sebuah lokasi untuk melaksanakan yoganya. Sebaiknya tempat ia beryoga-meditasi bersifat stabil, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah. Di sana ia harus duduk secara nyaman, tegak dan stabil dan memulai mengidungkan (beberapa mantra) pranawa-pranawa Veda.”  
32/33.”Dengan memfokuskan kedua mata ke ujung hidung, seseorang yogi yang terpelajar melatih nafasnya dengan cara-cara yang disebut puraka (menarik nafas)........ mengendalikan penarikan dan pengeluaran nafas dan lalu menghentikan kedua-duanya. Dengan cara ini sang yogi menjauhkan pikirannya dari ikatan-ikatan materi dan memasrahkan semua hasrat-hasrat yang ada di jalan pikirannya. Begitu sang pikiran dapat dikalahkan oleh berbagai hasrat dan nafsu, dan mulai terdorong untuk merasakan pemuasan indra-indranya, sang yogi ini harus ssegera mengembalikan fokus semedinya dan menahannya di dalam lubuk hatinya.”
Keterangan : Bab VI, Bhagavat-gita memuat panduan meditasi ini dengan baik sekali dan cara berdhyana tanpa pamrih yang dianjurkan di gita ini sangat bermanfaat bagi mereka-mereka yang ingin mengambil jalan ke Yang Maha Kuasa.  
34. ”Sewaktu sang yogi secara teratur melatih dirinya dengan upaya ini, maka dalam waktu yang singkat hatinya akan tentram dan lepas jauh dari berbagai gangguan, ibarat api tanpa kobaran dan tanpa asap.”  
35. ”Sewaktu kesadaran seseorang tidak tercemar oleh berbagai hasrat dan nafsu, maka kesadaran tersebut akan berubah tenang dan damai dalam berbagai tindakan dan pelaksanaannya, karena seseorang ini telah menyatu di dalam kehidupan yang penuh dengan karunia Ilahi (Yang Maha Esa). Begitu memasuki tahap ini ia tidak akan kembali ke berbagai aktifitas yang bersifat materi duniawi.”
Keterangan : Di atas tertera ciri-ciri dari seseorang yang telah melampaui dvandas yaitu dua sifat duniawi yang saling bertentangan seperti suka-duku, dingin-panas, kaya-miskin dan sebagainya. Yang dimilikinya hanyalah kebahagiaan Ilahi yang sulit untuk dijabarkan dengan kata, karena selain merupakan karunia kebahagiaan juga disertai kekuatan Yang Maha Dashyat dalam mengarungi berbagai fenomena di dunia ini.  
34. ”Seseorang yang menerima kehidupan sanyasa menjauhi tiga prinsip yang berhubungan dengan berbagai aktifitas dan pelaksanaan yang bersifat duniawi yang biasanya dilakukan sehari-harinya dalam kehidupan grhasta, seperti bekerja, berusaha, beragama, bermasyarakat dan lain sebagainya, bahkan ia menjauhi pemuasan sensualnya. Seorang yang telah mengambil jalan sanyasa tetapi kemudian kembali ke berbagai aktifitas duniawinya disebut vantasi, yaitu seseorang yang memakan muntahannya sendiri. Orang ini tidak memiliki rasa malu sama sekali.” 
35. ”Para sanyasi yang pada mulanya berkata bahwa raga ini suatu hari pasti akan binasa dan berubah menjadi kotoran, ulat dan abu (tanah) tetapi kemudian mementingkan dan mengangungkan tubuh mereka seakan-akan mengagungkan Sang Atman (di dalam diri mereka) harus disebut sebagai bajingan keparat yang besar.”
Keterangan : Di India banyak sekali  mereka-mereka yang mengaku Brahmana, yogi atau fakir dan sanyasi tetapi dibalik itu semua mereka berfoya-foya dengan berbagai kemewahan duniawi. Banyak diantara mereka beranggapan bahwa semua penerimaan yang mereka terima dari umat adalah hak dari Sang Atman yang berastana di tubuh mereka, jadi tidak ada salahnya menikmati itu semua pada hal mungkin mereka ini sebelumnya telah bersumpah menjadi pertapa atau sanyasi. Hati-hatilah pada guru-guru semacam ini, mereka ini disebut asattamah yang berarti bajingan tengik dan keparat, mereka juga disebut dengan nama apatrapah yang berarti tidak bermoral dan tidak punya malu, dan sudah jatuh dari jalan spritual yang penuh disiplin dan kendali diri.  
38/39.”Adalah menjijikkan bagi seorang yang hidup dalam grhsta-asrama untuk mengabaikan prinsip-prinsip pelaksanaan sehari-harinya dan begitu juga bagi seorang Brahmachari yang mengingkari sumpahnya dan mengabaikan ajaran-ajaran gurunya, dan bagi seorang yang mengambil jalan vanaprastha untuk tinggal di desa dan melakukan berbagai aktifitas spritual dan sosial, atau bagi seorang sanyasi yang terbius dengan pemuasan hasrat-hasrat nafsunya. Seseorang yang bertindak semacam ini disebut pengkhianat yang terendah. Seorang yang palsu ini kacau-balau jalan pikirannya akibat kekuatan eksternal dari Yang Maha Esa, jadi seharusnya orang ini ditolak dan disingkirkan dari posisinya, ajari ia agar kembali ke jalannya yang semula dengan penuh kasih sayang, seandainya hal tersebut memungkinkan.”  
40. ”Raga manusia ini diperuntukkan demi menghayati akan hadirnya secara transendental (gaib,mistis) Sang Jiwa dan Sang Atman (Yang Maha Esa). Seandainya seseorang dapat memahami kehadiran Mereka sewaktu ia dibersihkan oleh ilmu pengetahuan yang tinggi kadarnya, lalu untuk apa lagi seseorang yang bodoh harus merawat dan menjaga tubuhnya demi pemuasan nafsu-nafsunya belaka?"
41. ”Mereka-mereka yang membaur ke jalan Tuhan Yang Maha Esa, yang telah tinggi pemahaman ilmu pengetahuannya, menganggap raga ini, yang dirancang sesuai sabda Yang Maha Kuasa, ibarat sebuah kereta berkuda. Indra-indra ragawi diibaratkan sebagai kuda-kuda; sang pikiran diibaratkan pemimpin dari berbagai indra-indra ini dan adalah tali kekangnya; berbagai objek-objek indra diibaratkan sebagai berbagai tujuan; intelegensia seseorang adalah diibaratkan sebagai sang kusir; dan kesadaran yang membayar ke seluruh penjuru raga ini, adalah penyebab keterikatan di dalam dunia yang bersifat materi ini.”
Keterangan : Seperti yang tersirat di Bhagavat-Gita, sang jiwa adalah penghuni tubuh ini, dan Yang Maha Esa dalam bentuk Sang Jati Diri, yaitu Sang Atman adalah inti jiwa yang bersemayam di dalam sang jiwa ini. Seharusnya dengan seluruh komponen spritual yang teramat canggih, gaib dan mistis ini seorang insan yang dirancang untuk manunggal kembali denganNya bisa menyatu dengan Sang pencipta, tetapi karena Beliau juga memberikan opsi lain yaitu Sang Maya (ilusi duniawi), maka manusia yang juga dirancang rentan ini lebih tergiur oleh Sang Maya, apalagi di zaman modern yang disebut Kali-Yuga ini. Sekali manusia lebih tergiur dan terbius oleh duniawi yang semu dan ilusif ini hilanglah kesadaran sejatinya, dan “matilah” untuk sementara unsur-unsur spritual yang ada di tubuhnya, celakalah manusia semacam ini karena pada kelahiran selanjutnya derajatnya akan otomatis turun.  
42. ”Kesepuluh jenis udara yang mengalir di dalam tubuh diibaratkan sebagai as dari roda-roda kereta kuda ini; bagian atas dan bawah roda disebut dharma dan adharma. Sang Jiwa di dalam tubuh yang bersifat duniawi ini adalah sang pemilik kereta ini. Mantra Veda (Omkara pathanti) adalah ibarat busur dan sang jiwa adalah anak panahnya, sasarannya adalah Tuhan Yang Maha Esa.”
Keterangan : Manusia memiliki 10 jenis udara yang mengalir keluar masuk dari tubuh ini yang masing-masing disebut prana, apana, samana, vyana, udana, naga, kurma, krkala, devadhatta dan dhananjaya yang diibaratkan sebagai 10 penopang utama (as) pada sebuah roda chakra. Perjalanan kehidupan manusia ini diibaratkan perjalanan kereta kuda ini. Dharma ada di bagian atas roda dan adharma di bawahnya. Sesuai dengan gerakan roda maka dharma dan adharma bergerak naik dan turun mengikuti irama gerak sang chakra (roda). Kehidupan ini sebenarnya adalah sebuah perjalanan spritual yang penuh dengan misi ibadah (dedikasi dan bhakti) kita untuk Sang Pencipta, yang sebenarnya adalah tujuan kita untuk dilahirkan sebagai manusia dengan semua sarana ragawi dan spritual yang lengkap yang tidak dimiliki bahkan oleh para dewa, sehingga kalau masa kehidupan para dewa ini habis maka mereka memohon untuk menjadi manusia, karena sebagai dewa tidak meniliki raga yang essential untuk menuju ke strata yang lebih tinggi. Semua sorga dan bentuk dewa-dewi yang dianggap tujuan hidup ini masih berada di dalam lingkupan Sang Maya dan bukanlah hakikat dari tujuan kita, tujuan kita adalah menyatu dengan hakikatNya. Sang Jiwa tidak bisa langsung moksha, harus melalui evolusi spritual dahulu dari sel yang paling rendah ke fauna, flora dan sebagainya baru ke wujud yang paling sulit dan agung yaitu manusia, tetapi di sinilah terletak ujian yang paling sulit, karena jegalan atau halangan Sang Maya adalah yang terberat di tahap ciptaan sebagai manusia, di bawah ini diterangkan berbagai jenis halangan bagi manusia.  
43/44.”Di dalam kehidupannya di dunia ini, sang jiwa yang terbungkus oleh raga duniawi ini sering mengalami pencemaran oleh nafsu dan kebodohan (avidya, kekurang-pengetahuan) yang terpancar keluar sewaktu seseorang itu menunjukkan sifat-sifat keterikatan, tidak ramah tamah, serakah, duka, melarikan diri dari kenyataan hidup ini, cemburu, tidak toleran dengan sesamanya, terjerat dengan atau oleh berbagai nafsu dan hasrat, kegalauan, rasa lapar (pada hal sudah cukup makan dan minumnya), malas dan lebih menyukai tidur. Semua sifat dan unsur-unsur ini adalah musuh bagi manusia. Adakalanya seseorang juga tercemar oleh sifat-sifat kebajikan itu sendiri.”
Keterangan : Ketiga bentuk guna, satvas, rajas dan tamas, hadir dalam setiap kebajikan dan kebatilan, dan tanpa disadari manusia sering terjebak dalam ego-ego positif dan negatifnya. Ada yang merasa sangat suci dan selalu menyebut-nyebut dharmanya dan menganggap dharma atau ibadah / bakti orang lain itu kotor dan harus segera diubah padahal Sang Krishna di Bhagavat-Gita tidak menganjurkan hal tersebut. Itulah sebabnya Sang Krishna dan para resi yang agung selalu menganjurkan umat manusia untuk mencari seorang guru bagi setiap individu, selalu menganjurkan agar bergabung dengan berbagai orang suci dan satsangh (kelompok spritual).
Di antara semua guru, maka Bhagavat-Gita yang dirancang oleh Resi Vyasa dan kelompoknya dan disabdakan atas nama Sang Krishna dan Arjuna adalah Maha Guru untuk kita semua, namun karena banyak terjemahan buku ini sangat rancu maka selalu dibutuhkan guru penuntun dan hati nurani untuk memahami karya agung ini, yang tidak ada habis-habisnya kalau kita pelajari, ibarat pelajaran baru sampai akhir hayat kita. Berbagai kitab kita suci diambil inti sarinya oleh resi Vyasa dan dirangkum dalam Bhagavat-Gita ini, karya-karya tersebut sebagian adalah Rig Veda, Puranas, Manawa, Dharma Sastra, Asthavakra-Gita, berbagai Upanishad dan lain sebagainya. Kitab suci ini adalah panduan sakral untuk zaman Kali-Yuga ini.  
43.    ”Selama seseorang harus menerima raga manusiawi ini, dengan berbagai organ-organ tubuh dan berbagai sifat dan cara kerjanya, yang tidak selamanya (seluruhnya) dapat dikendalikannya, maka seseorang harus mencari seorang guru atau guru dari para orang-orang suci. Dengan pertolongan mereka, seseorang dapat menajamkan pedang (menambah) ilmu pengetahuannya, dan dengan kekuatan yang didapatkannya dari Yang Maha esa, maka ia akan mengalahkan musuh-musuh (halangan) yang disebut di atas. Dengan cara ini, sang pemuja akan mampu menyatu dengan Karunia (transendental) Yang Maha Esa yang hadir di dalam dirinya sendiri, dan lambat laun pemuja ini akan “mengabaikan” raganya dan lebih terkonsentrasi kepada identitas spritualnya.”
Keterangan : Raga manusia ini oleh Resi Narada diibaratkan sebagai sebuah wahana (kereta) dan diperlukan seorang guru sejati untuk menuntun dan mengarahkan agar wahana ini tidak salah jalan. Konon dikatakan bahwa setiap insan sebenarnya telah ditakdirkan untuk mendapatkan seorang guru sejati, hanya saja kita sering tidak mengenalnya karena beliau ini bisa saja berupa seorang teman, guru di sekolah, orang tua, petani ataupun orang asing yang kita temui hanya sekejab di jalan. Sementara manusia mendambakan para guru ini, dan banyak yang tidak memerlukannya sama sekali, pada hal sulit untuk memahami hakikat Yang Maha Esa tanpa penjabaran nyata oleh guru sejati. 
44. Seandainya seorang tidak mengikuti instruksi para guru spritual sejati (di sini disebutkan sebagai Acyuta dan Baladewa = wakil-wakil Sang Krishna), maka berbagai indra tubuh akan berpari-laku ibarat kuda-kuda (yang liar), dan intelegensia (budhi) yang diibaratkan sebagai seorang kusir, semuanya ini akan cenderung terkontaminasi oleh unsur-unsur materi, dan mengarahkan seseorang ke pemuasan indra-indranya. Sewaktu seseorang tertarik kembali ke berbagai visaya ini, seperti bersantap, tidur dan hubungan seksual maka para “kuda liar dan sang kusir” akan terjerumus ke jalan kegelapan dunia ini, dan sekali lagi masuk ke alur kelahiran dan kematian yang berulang-ulang tanpa ujung, dan situasi ini sangatlah berbahaya dan menakutkan secara spritual.”
Keterangan : menyantap santapan yang tidak satvik, tidur yang berkepanjangan, hubungan seksual yang bertentangan dengan dharma akan menuntun kita ke lubang hitam pekat dan menghasilkan reikarnasi yang tidak ada habis-habisnya dalam berbagai wujud fauna-flora atau yang lebih rendah dari itu semua.   
45.  ”Menurut berbagai Veda, terdapat 2 jenis pelaksanaan yaitu yang disebut pravrtti dan nivrtti. Pelaksanaan yang pertama mengangkat seseorang dari tingkat materi duniawi yang rendah ke tingkat kehidupan materi duniawi yang lebih tinggi, sedangkan pelaksanaan yang adalah pelepasan keterikatan dari berbagai nafsu dan hasrat-hasrat akan hal-hal yang bersifat duniawi. Melalui pravrtti seseorang akan menderita karena terikat oleh materi duniawi ini, dan melalui nivrtti seseorang akan disucikan dan layak menikmati kehidupan yang abadi dan penuh KaruniaNya.”  
48/49.”Berbagai ritual, upacara dan pengorbanan seperti agni-hotra-yajna, darsa-yajna, purnamasa-yajna, caturmasya-yajna, pasu-yajna dan soma-yajna ditandai dengan pembantaian hewan dan pembakaran berbagai benda-benda yang berharga, khususnya makanan yang berbentuk gandum-ganduman. Semua ini demi terpenuhinya hasrat dan nazar-nazar yang bersifat materi duniawi. Melaksanakan berbagai pengorbanan tersebut dan memuja Vaisvadeva (Yang Maha Esa), melaksanakan upacara Baliharana, yang diperuntukkan demi pencapaian tujuan kehidupan, begitu juga membangun berbagai tempat persembahyangan (Sura-alaya) untuk para dewa-dewi, membuat sumur-sumur untuk membagi-bagi air, membangun gudang-gudang makanan untuk membagi-bagi makanan (bagi yang membutuhkan), dan melaksanakan berbagai aktifitas demi kesejahteraan umum, kesemuanya ini ditandai oleh ikatan-ikatan bersifat penuh pamrih dan hasrat-hasrat materi duniawi.”
Keterangan : Yang dimaksud diatas adalah pelaksanaan berbagai upacara demi status simbol, pamer kekayaan, nazar-nazar tertentu pamrih dan tujuan-tujuan tertentu seperti mengharapkan anak, kekayaan, kekuatan supra natural, black magic dan berbagai kebutuhan hidup lain-lainnya. Semua ini bukan ditujukan sebagai dedikasi atau bakti kita kepadaNya.  
50/51.”Wahai Raja Yudhistira yang kuhormati, sewaktu berbagai persembahan yang terdiri dari ghee (mentega murni) dan bahan makanan seperti berjenis-jenis gandum-ganduman dan wijen dipersembahkan sebagai pengorbanan, maka kesemuanya ini lalu berubah ujud menjadi asap dan membawa sang pelaksana upacara ini ke berbagai sistem tata surya (loka-loka yang ada di antariksa) seperti loka-loka Sang Dhima, Ratri, Kresnapaksa, Daksinam dan rembulan (somah). Lalu, para pelaksana pengorbanan ini turun lagi ke bumi dan berubah ujud menjadi berbagai jenis tumbuh-tumbuhan seperti rempah-rempah dan sebagainya, menjadi serangga, gandum-ganduman dan tanaman-tanaman lainnya. Semua ini lalu disantap oleh berbagai mahluk hidup dan berubah ujud menjadi spermatozoa yang kemudian disalurkan ke berbagai raga yang berujud feminin. Dengan begitu seorang lahir dan lahir kembali.” 
 Keterangan : Di sloka atas ini jelas terdapat perbedaan ajaran kalau dibandingkan dengan berbagai Veda seperti Sama-Veda, Yajur-Veda, Rig-Veda dan lain sebagainya, sedangkan Bhagavat-Gita dengan secara liberal mengajarkan kita ke tujuan kita yang murni yaitu hakikat kesatuan dengan Yang Maha Esa melalui berbagai yoga ataupun jalan spritual; yang penting kesadarannya bukan upacara ataupun biayanya. Di lain pihak coba renungkan sekitar 8000 tahun yang lalu sewaktu dunia Barat belum eksis, teknologi dan pengetahuan para resi di India sudah demikian maju sehingga mereka bisa tahu dan faham bahkan soal sperma / spermatozoa yang pada saat ini dipelajari melalui mikroskope yang canggih, pada hal pada zaman itu kan belum ada alat-alat yang canggih dan super modern seperti yang ada pada zaman ini.
Banyak sekali ilmu pengetahuan Asia dan India yang dicuri dunia Barat sewaktu mereka menjajah India dan semenanjung Asia, dan teknologi ini kemudian dijual lagi kepada kita dengan hak cipta segala.
Suatu hal yang harus dihayati bahwa berbagai upacara yang menghamburkan uang, dan benda-benda yang seharusnya dapat dipergunakan bagi sesama yang lebih membutuhkannya seperti para fakir-miskin, yatim-piatu, karena semua upacara yang menghambur-hamburkan uang dan tenaga ini tidak akan menjamin bahwa kita akan masuk ke sorga atau menyatu dengan Tuhan Yang Maha Esa, Beliau tidak dapat disogok atau diajak berkompromi oleh manusia dengan berbagai upacara, karena semua ciptaan berasal dariNya dan tidak ada sesuatu apapun juga yang dapat kita berikan kembali kepadaNya yang bukan milikNya juga.  
52. ”Seorang Brahmana yang dwijati (lahir kedua kali)mendapatkan (hutang nyawa)kehidupannya karena karunia kedua orang tuanya melalui proses yang dikenal sebagai suatu penyucian yang disebut garbhadana. Juga kemudiaan diikuti oleh berbagai proses penyucian sampai dengan akhir hayatnya, yaitu yang disebut upacara pelaksanaan pembakaran jenazahnya (antyesti-kriya). Di dalam kurun waktu tersebut seorang Brahmana yang berkwalitas murni (dwija) tidak tertarik lagi dengan berbagai aktifitas dan pengorbanan secara duniawi ini, dengan eling (Jnana-dipesu), penuh kesadaran sejati, ia mengorbankan kenikmatan indra-indranya ke dalam aktifitas indra-indranya yang telah disinari (diterangi) oleh sinar pengetahuan.”
Keterangan : Baik di India maupun di Indonesia kita banyak mengenal para Brahmana dengan berbagai predikat seperti pandita, pemangku, dan lain sebagainya yang oleh masyarakat sering dianggap sebagai seorang dwijati, atau mereka sendiri yang mengaku sebagai manusia dwijati, tetapi sehari-hari kita juga melihat perilaku mereka yang kotor seperti mabuk-mabukan, main tajen, merokok, makan santapan yang masih berbentuk darah daging dan tidak ahimsa sama sekali dengan berbagai alasan. Ada yang harus menjadi Brahmana karena faktor usia, tradisi, dan garis keturunannya pada hal orang tersebut tidak mau dan tidak memenuhi syarat agama. Ada lagi yang sebaliknya yaitu sangat memenuhi syarat sebagai Brahmana tetapi lahir dari kelas atau varna yang berbeda dan dianggap tidak layak menjadi seorang Brahmana. Seandainya kita bertemu dengan jenis Brahmana yang munafik, palsu dan serba imitasi ini maka kita wajib menentangnya dengan cara-cara yang ahimsa, dan menyadarkan mereka bahwa hal-hal yang mereka lakukan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku seharusnya. Dharma menyatakan bahwa simbol dharma adalah merah dan putih, merah menyiratkan keberanian, perjuangan, aksi, karma, tindakan positif, prakriti dan sebagainya. Sedangkan putih menandakan purusha, unsur kehidupan yang suci, sakral, kebenaran dan sebagainya. Sia-sia saja seorang Brahmana menyandang baju putih kalau ia tidak memiliki sifat-sifat sang merah, dan sia-sia saja manusia pada umumnya yang mengaku varna lainnya kalau tidak memiliki sifat-sifat sang putih.  
53. ”Perilaku sang pikiran selalu terombang-ambing oleh ombak penerimaan dan penolakan akan sesuatu hal. Oleh karena itu semua pelaksanaan berbagai indra-indra ini harus dipersembahkan (dengan kesadaran tentunya) kepada sang pikiran, yang kemudian disalurkan ke dalam wacana (kata-kata) seseorang. Lalu kata-kata seseorang tersebut harus dipersembahkan ke bentuk intisari Omkara (pertama wacana orang tersebut dipersembahkan kedalam bentuk alfabet kemudian ke bentuk Omkara). Omkara kemudian dipusatkan dan dipersembahkan ke titik bindu (di tengah-tengah alis mata), dari bindu disalurkan melalui getaran ke suara, (nada), dan selanjutnya ke udara kehidupan (prana). Kemudian yang tersisa adalah jiwa-raga seseorang yang harus dipersembahkan kepada Sang Brahman (Tuhan Yang Maha Kuasa), hal ini disebut sebagai proses pengorbanan.”
Keterangan : Sloka di atas baru saja menjelaskan sebuah proses samadhi spritual yang bersifat transendental, gaib. Yang Maha Pencipta memberikan 24 jam penuh kepada kita setiap harinya, tetapi jarang sekali yang bermeditasi kepadaNya barang semenitpun dengan berbagai alasan. Kita condong bersembahyang beramai-ramai di pura atau di mandir, pada hal pengorbanan yang seharusnya adalah kewajiban kita inilah yang selalu dimaksud oleh Sri Kresna dalam ajaran-ajarannya. Sang Resi Narada sekali lagi terdorong oleh rasa welas-asihnya kepada manusia ini, menuntun kita ke arah meditasi suci ini yang hasilnya sangat menakjubkan, karena lambat laun sang pemuja akan dituntun ke arah tahap-tahap spritual yang tinggi.
Berhati-hatilah dengan cara atau upaya semadi ini, karena tidak boleh ada pamrih sedikitpun, semua upaya disiplin ini seharusnya dilakukan sebagai dedikasi kita tanpa suatu imbalan dari Yang Maha Kuasa, penuh dengan pengorbanan total yang sebaiknya tidak dianggap tetapi kewajiban yang seharusnya. Hasilnya tanpa dimintapun bisa menimbulkan berbagai kesaktian, kekayaan, kekuatan, mendapatkan posisi yang luar biasa ditengah-tengah masyarakat dan sebagainya, tetapi semua ini bisa menyesatkan karena semua upaya semedi ini seharusnya dari titik bindu menuntun kita ke arah rasa welas-asih, kesederhanaan dan prema (kasih sayang Ilahi), sewaktu penyatuan tercapai dan sinkron segala hal antara Sang Pemuja dan Yang Dipuja, maka orang ini disebut dwijati secara murni, bukan yang lulus sekolah kepanditaan atau kursus kilat jadi pemangku, atau yang mengaku-ngaku guru spritual dengan berbagai attribut yang aneh. Seorang dwijati bisa saja berwujud orang biasa dari segala strata dan kalangan, yang menonjol di dalam diri orang ini adalah prana atau teja atau kharisma yang dipancarkannya dari wajah dan dari setiap tindak-tanduknya.  
54. ”Dalam tahap pendakiannya, seorang insan yang progresif (maju terus) memasuki berbagai loka yang terdiri dari loka api (agni), loka surya, loka hari (diva), loka akhir hari (prahnah), loka suklah (14 hari rembulan yang terang), loka raka (purnama yang jatuh pada akhir sukla-paksa), dan uttaram (saat mentari bergerak ke arah utara), bersama-sama masing-masing para dewanya. Sewaktu insan ini memasuki Brahmaloka, ia menikmati kehidupan di sana selama berjuta-juta tahun, dan akhirnya akan habis juga berbagai tujuan materinya. Ia kemudian menuju ke arah yang lembut, dan dari titik tersebut ia mencapai tujuan kasualnya, di mana ia dapat menyaksikan berbagai tahap-tahap yang telah dilaluinya. Sewaktu ia meninggalkan tahap kasualnya ini, ia akan mencapai tahap yang murni di tahap ini ia mengenali Sang Jati Diri (Atman). Dengan cara ini ia berubah menjadi transendental (menyatu denganNya).”
Keterangan : Semua tahap yang sulit ini bisa dicapai oleh seseorang insan yang masih menyandang raga akibat dari meditasi (semedinya) yang tanpa pamrih yang dilakukannya penuh dengan disiplin setiap saat walaupun terganggu apapun juga, ia melakukan dhyananya sebagai suatu bentuk pengorbanan yang wajib yang tidak dirasakannya sebagai pengorbanan karena apalah artinya satu jam setiap pagi dan satu jam setiap malam untuk meditasi kepada Yang Maha Esa, kalau dibandingkan senua anugrahNya yang berbentuk kehidupan dengan segala penunjangnya ini. Tahap ini dijelaskan secara gamblang oleh Sri Kresna kepada Arjuna dan tersirat di seluruh wejangan Bhagavat-Gita, dan juga terdapat diberbagai kisah di Srimad Bhagavatam dan Yoga-asishta, dan lain-lainnya. Tanpa mempelajari Bhagavat-Gita dan menghayatinya secara sadar tidak seorangpun bisa mengaku dirinya sebagai pengikut Hindhu (Sanatana Dharma). Bahkan Sai Baba yang agung pun mempelajari dan mengajarkan ajaran agung Bhagavat-Gita ini kepada para murid-murid dan bhaktanya yang berasal dari seluruh dunia.  
55. ”Proses bertahap dalam pendakian (spritual) demi mencapai kesadaran akan Sang Jati Dirinya sendiri dimaksudkan bagi mereka-mereka yang benar-benar sadar akan Kebenaran Yang Hakiki. Setelah menjalani berbagai kelahiran di jalan ini, yang dikenal sebagai deva-yana, seseorang akan mencapai berbagai tahap-tahap spritual ini. Seseorang yang secara total lepas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi, karena telah menyatu denganNya, tidak perlu lagi menjalani berbagai kelahiran dan kematian.”
Keterangan : Tahap-tahap transendental (penyatuan secara gaib) diterangkan dengan sangat piawai oleh Sri Kresna di Bhagavat-Gita.  
56. ”Walaupun seseorang hidup dengan menyandang raga, (tetapi) sadar    secara total akan jalan-jalan yang disebut sebagai pitra-yana dan dewa-yana, dan membuka matanya sesuai dengan ilmu pengetahuan Veda, insan ini tidak akan pernah galau di dunia yang serba meterialistik ini.”
57. ”Beliau yang hadir secara internal dan eksternal, yang hadir pada permulaan dan akhir dari setiap unsur dan eksis di setiap mahluk hidup, yang dinikmati dan yang menikmati semuanya, Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Tak Berkuasa, disebut sebagai Kebenaran Yang Maha Hakiki. Beliau selalu hadir sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai tujuan dari ilmu pengetahuan, sebagai ekspresi dan tujuan dari pengertian, sebagai kegelapan dan sebagai penerangan. Oleh sebab itu, Yang Maha Kuasa adalah segala-galanya.”
Keterangan : Di berbagai Veda tersirat suatu pernyataan sebagai berikut : “sarvam khalu idam Brahma,” yang kira-kira bermakna sang Pencipta adalah Yang Maha Hadir di mana-mana di dalam segala (semua) ciptaan-ciptaanNya.  
58. ”Walaupun seseorang boleh mengatakan bahwa pantulan sinar surya dari sebuah cermin bukanlah surya, sebenarnya sang surya tetap saja eksis. Demikian juga caranya seandainya ingin membuktikan Keberadaan Tuhan Yang Hakiki melalui ilmu pengetahuan yang menduga-duga itu pastilah sangat sukar untuk dibuktikan.”
Keterangan : Banyak manusia bersifat anti Tuhan atau atheis karena kurangnya intuisi murni mereka. Insan-insan yang kegelapan ini berkilah bahwa Tuhan itu tidak ada, lalu dari mana seluruh alam semesta dan segala manifestasi dan improvisasi alam semesta ini. Dengan ini Resi Narada menyiratkan kehadiran Yang Maha Esa sebagai pantulan sang surya yang dapat dilihat di atas permukaan air di mana saja.
Yang terpantul bukan surya yang asli, karena yang asli ada di atas sana. Setelah malam tiba tidak berarti sang surya sudah tidak eksis lagi, sang bumi yang bergerak memutar sehingga sang surya tertutup pada suatu sisi dan terang lagi di sisi-sisi yang lain. Panas yang ditinggalkan oleh sang surya di pagi hari diserap bumi dan disalurkan kembali pada malam harinya, suatu bentuk teknologi alam yang menakjubkan demi menunjang bumi dan isinya termasuk manusia. Kalau saja kita semua sadar akan hal ini tidak diperlukan buku-buku suci untuk menuntun kita semua.
59. ”Di dunia ini terdapat lima unsur (maha-panca-butha), masing-masing adalah bumi, air, api, udara dan ether, tetapi raga kita bukanlah refleksi dari kelima unsur ini, juga bukan sebuah bentuk perpaduan ataupun transformasi dari kelima-limanya ini. Karena raga ini dan seluruh anggota-anggota badannya ini tidak saling berjauhan maupun bercampuran, semua teori-teori yang mengatakan seperti ini dan atau seperti itu, tidak berdasar sama sekali.”
Keterangan : Sementara ahli spritual mengatakan tanpa hadirnya kelima unsur maha panca butha saluran alam semesta tidak akan eksis, teori-teori semacam ini disanggah oleh Resi Narada, maksud beliau di atas, tanpa Yang Maha Esa eksis di kelima maha panca butha maka tidak ada apapun yang akan eksis dan dimungkinkan.  
60. ”Karena raga ini terdiri dari lima unsur tersebut, maka raga ini tidak bisa hidup tanpa tujuan-tujuan dari berbagai objek-objek sensualnya yang halus (suara, rasa, sentuhan, intuisi, penciuman, dan sebagainya). Oleh karena raga ini palsu (ilusif), maka tujuan-tujuan sensualpun secara alami bersifat palsu dan tidak abadi.”
Keterangan : Sloka di atas terkesan agak rancu kalau dibandingkan dengan sloka sebelumnya. Kalau pada sloka sebelumnya seakan-akan tersirat Resi Narada tidak mementingkan hadirnya kelima maha panca butha ini, maka di sloka ini pengamatannya agak lain. Yang dimaksud oleh beliau adalah kalima unsur ini sebenarnya juga bersifat ilusif seperti seluruh alam semesta dan segala isinya dan tidak abadi. Yang Maha Abadi menciptakan kelima unsur ini sebagai alat-alat penunjang agar manusia bisa mencapaiNya, dan faktor inti inilah yang dimaksudkan oleh Sang Resi Narada yang berwacana sesuai dengan kadar keresiannya.  
61. ”Sewaktu sesuatu unsur dan berbagai bagian-bagiannya dipisah-pisahkan, maka penerimaan konsep kesamaan dari berbagai pisahan ini disebut sebagai ilusi. Sewaktu seseorang bermimpi, maka ia menciptakan sebuah pemisahan antara eksistensi yang disebut kesadaran (tahap tidak tidur) dan tahap tidur. Pada tahap pikiran semacam itulah, berbagai prinsip-prinsip yang beraturan yang terdapat di berbagai kitab-kitab suci, yang memuat berbagai perintah dan larangan, dianjurkan (kepada umat).”
Keterangan : Sloka di atas menyiratkan suatu prinsip ilmu pengetahuan yang amat tinggi dan tidak bisa dimengerti oleh kaum awam. Di dalam salah satu Upanishad yang sulit untuk difahami, Upanishad ini disebut Mandukya Upanishad para resi menerangkan tahap-tahap yang ada di dalam kehidupan seorang manusia sehari-harinya, yaitu tahap tidur lelap, tidur kurang lelap, tahap mimpi (tidak tidur karena melihat dan merasakan sesuatu, tetapi sebenarnya tidak begitu karena mata dalam keadaan terpejam total), tahap kesadaran (bangun dan bekerja, tidak dalam keadaan tertidur), tahap meditasi, tahap trance (kerasukan), dan sebagainya.
Di sloka atas ini tersirat petunjuk bagaimana kitab-kitab suci yang penuh dengan berbagai peraturan bagi pemujanya dibuat yaitu, melalui tahap kesadaran dalam tidak kesadaran, dan melalui tahap ini (wahyu) timbulah berbagai agama dan ajaran di dunia ini.  
62.    ”Setelah mempertimbangkan suatu kesatuan dari berbagai aktifitas dan suatu kesatuan dari berbagai fenomena di alam semesta ini, dan setelah menyadari setiap pelaksanaan maupun reaksi-reaksinya, maka seseorang (muni, orang yang suci), sesuai dengan kadarnya (kadar kesadarannya), menanggalkan ketiga tahap yaitu : tahap kesadaran, tahap mimpi dan tahap tidur.”
Keterangan : Sloka di atas akan terasa lebih membingungkan bagai kaum awam, karena fenomena meninggalkan ketiga tahap tersebut di atas hanya terjadi kepada seseorang yang telah manunggal denganNya, sehingga kehidupan orang suci tersebut telah terserap langsung ke Sang Atmannya, ia bekerja, sadar, tidur dan mimpi dan melakukan berbagai pelaksanaan sehari-hari secara sinkron dengan Sang Atmannya, semua pelaksanaannya adalah pengorbanan untukNya semata, ia tidak terikat oleh dvandas (baik-buruk, dingin-panas, suka-duka dan sebagainya). Tidak ada suatu unsur apapun yang mampu menyengsarakan ataupun membahagiakannya karena ia telah membaur dengan Zat Hakiki Sang Pencipta.  
63. ”Sewaktu seseorang memahami bahwa sebab dan akibat sebenarnya adalah satu dan dualitas tidak nyata, ibarat benang-benang yang ditenun di sehelai kain tidak bisa disebut kain, maka insan ini mencapai suatu konsep kesatuan (spritual) yang disebut Bhavadvaita (konsep akan kesatuan).”  
64. ”Wahai Yudhistira (partha) yang kusayangi, sewaktu semua bentuk pelaksanaan berbagai aktifitas seseorang yang terpancar keluar dari pikiran, kata-kata dan raga seseorang dipersembahkan secara langsung demi pengorbanannya kepada Yang Maha Kuasa, maka insan ini mencapai tahap kesatuan pelaksanaan, yang disebut Kriyadvaita.”
Keterangan : Sebenarnya Bhagavat-Gita sudah mengajarkan kepada kita semua agar apapun yang kita santap, lakukan, dan sebagainya sehari-hari sebaiknya dipersembahkan kepada Yang Maha Esa tanpa mengharapkan pamrih. Dengan cara ini Beliau akan terpuaskan dan KaruniaNya akan memenuhi setiap kegiatan kita sehari-hari dan tanpa disadari oleh sang pemuja ini ia menyatu denganNya.  
65. ”Sewaktu tujuan hidup yang hakiki dan kepentingan dari seseorang, dari istrinya, dari putra-putrinya, dari kalangan keluarganya dan dari semua mahluk-mahluk hidup itu bersifat satu, maka hal ini disebut Dravyadvaita, atau kesatuan kepentingan.”
Keterangan : Sloka di atas sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, karena satu tujuan hakiki yang dimaksud di sloka ini adalah penyatuan dengan Yang Maha Esa dengan penuh kesadaran, padahal dalam kehidupan kita ada suami yang tujuan hidupnya melulu mencari harta tanpa henti-hentinya, dan ada istri yang berbakti, ada putra-putri yang sesat, ada istri atau suami yang saling bertentangan dan sebagainya. Mewujudkan suatu keluarga yang beriman secara sadar dan murni seperti sloka di atas adalah “mission-impossible.”
Kendala terbesar seseorang adalah keluarganya sendiri dan kendala itu bisa datang dari salah satu anggota keluarga atau dari semuanya. Pada zaman ini seorang anggota keluarga yang ingin mengambil jalan spritual yang serius dan penuh bakti malahan dianggap gila dan malas, setiap orang kalau bisa harus jadi sarjana atau pedagang dan pejabat, pokoknya kedudukan dan harta-benda adalah tujuan hidup ini, tidak perduli siapa yang memberikan kesempatan untuk hidup ini.  
66. ”Dalam keadaan normal, di mana mara bahaya tidak hadir, wahai Raja Yudhistira, seseorang harus melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan status sosial yang disandangnya, dengan menggunakan benda-benda, upaya-upaya, proses dan tempat kediaman yang tidak terlarang baginya, dan tidak dengan melalui cara-cara yang lain.”
Keterangan : Pada saat normal dan pemerintahan berjalan dengan baik, begitu juga dengan sistem ekonomi dan hukum, maka setiap insan sesuai dengan kewajiban varnanya seyogyanya bekerja dengan baik, yang pedagang (waisya) jadilah pedagang yang baik, yang brahmana melakukan tugasnya dengan satvik, dan begitu seterusnya sesuai peraturan dan tata-tertib yang berlaku di dalam masyarakatnya sehingga tercapailah tata-tertib dan ketentraman, disiplin sosial, keamanan dan kenyamanan bagi seluruhnya.  
67. ”Wahai Raja, setiap insan harus melakukan kewajibannya sesuai dengan instruksi-instruksi ini, juga sesuai dengan instruksi yang ada di berbagai Veda, agar pantas menjadi pemuja Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, walaupun seseorang tinggal di rumah, ia akan pasti mencapai tujuannya.”
Keterangan : Sri Kresna bersabda secara amat tegas di Bhagavat-Gita bahwasanya barang siapapun melangkah satu langkah ke arahNya akan disambut dengan 1000 langkahNya, coba bayangkan betapa luas dan besarnya satu langkah Yang Maha Kuasa dibandingkan sebuah langkah manusia, dan Beliaupun menjanjikan sekotor apapun manusia itu sekali menuju ke arahNya akan disucikan. Sebenarnya ajaran Sanatana Dharma ini sangat sederhana, modern dan tidak perlu terkontaminasi oleh berbagai ritual yang aneh-aneh dan konsuntif apalagi serba mahal dan bersifat mubazir yang mementingkan para brahmana yang korup dan kotor. Dengan hanya memuja Tuhan Yang Maha Esa dari rumah sekalipun asalkan penuh ketulusan dan kesadaran bisa mencapaiNya dengan mudah, bukankah itu menunjukkan sebenarnya ajaran ini sangat sederhana tetapi bermakna tinggi.  
68. ”Wahai Raja Yudhistira, karena baktimu kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka seluruh Pandawa berhasil mengalahkan berbagai raja-raja dan dewa-dewa. Dengan berbakti kepada kaki padmaNya Sang Krishna dikau berhasil mengalahkan musuh-musuhmu yang dashyat, ibarat kawanan gajah dan selanjutnya dikau mengumpulkan berbagai keperluan untuk pengorbananmu. Dengan KaruniaNya, semoga dikau dilepaskan dari ikatan-ikatan materi duniawi ini.”
Keterangan : Sebenarnya Maharaja Yudhistira pada waktu itu sudah hidup sebagai manusia biasa karena sudah menanggalkan atribut-atribut kerajaannya. Sebagai seorang raja yang hidup berumah-tangga secara sahaja (grha-mudha-dhi) ia sering bertanya-tanya di dalam hatinya, dapatkah ia mencapai Tuhan Yang Maha Esa walaupun ia sudah tidak keluar dari istananya lagi.
Ternyata Resi Narada menyiratkan kepada Yudhistira dan kita semua bahwa suatu saat nanti kita semua akan menjadi tua, sakit-sakitan dan harus menetap di rumah menanti ajal datang menjemput kita semua, dan selama masa penantian ini bakti kita kepadaNya harus dan wajib diteruskan dari tempat tinggal kita sendiri sesuai dengan kewajiban, varna dan keahlian yang kita miliki secara bakat lahiriah dan alami (kodrati). Bakti kepadaNya juga berarti mengabdikan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, pekerjaan sosial dan sebagainya. Yang semuanya bisa dilakukan di rumah seseorang yang karena sesuatu lain hal sudah tidak bisa atau tidak mampu keluar rumah.  
69. ”Pada suatu kurun waktu yang teramat silam, di bagian lain maha-kalpa (milleniumnya Sang Dewa Brahma) aku hadir sebagai seorang Ghandharva (penyanyi di sorgaloka) yang dikenal dengan nama Upabharhana, aku sangat dihormati oleh para ghandharvas yang lainnya.”  
70. ”Aku memiliki wajah yang tampan dan bentuk tubuh yang menawan. Berhiaskan untaian-untaian bunga dan pupur (serbuk bedak yang dicampur air / susu) cendana, aku sangat menawan bagi wanita-wanita di lokaku. Karenanya aku selalu bersifat liar, penuh dengan berbagai hasrat nafsu-nafsuku.”  
71. ”Pada suatu saat diselenggarakan upacara Sankirtana (puja-puji) untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa, dan para Ghandharva dan apsara (para penyanyi / penari wanita di sorgaloka) diundang oleh Prajapati untuk ikut serta.”  
72. ”Resi Narada meneruskan : Akupun diundang di upacara ini, dan karena selalu dikerumuni wanita-wanita, aku mulai melantunkan kidung puja-puji bagi para dewata. Dan akibatnya para Prajapati yang menjalankan berbagai kegiatan di alam semesta terpaksa mengutukku dengan kata-kata seperti ini : “Karena dikau telah melanggar peraturan, maka dikau dikutuk untuk langsung menjadi seorang sudra, dan jauh dari ketampanan.”
Keterangan : Sudra di sini bisa juga diartikan kafir, manusia hina-dina, jadi tidak selalu bersifat varna, bisa juga berarti manusia yang dicampakkan karena sesuatu dan lain hal, manusia yang tidak disentuh dan sebagainya.  
73. Walaupun aku dilahirkan sebagai seorang sudra dari rahim ibuku yang berstatus seorang pembantu rumah tangga, aku selalu terlibat dengan pemujaan kepada Sang Hyang Vishnu, dan dalam kehidupan ini aku mendapatkan kesempatan dilahirkan sebagai (salah seorang) putra Dewa Brahma.”
Keterangan : Di sloka ini Resi Narada ingin mempertegas sabda Sang Krishna di Bhagavat-Gita bahwa walaupun pemujanya itu seorang yang teramat hina-dina sekalipun di dunia ini bisa diangkat derajatnya dengan sekali sentuhanNya saja, yang penting adalah bakti tulus tanpa pamrih.  
74. ”Proses memuja nama suci Tuhan Yang Maha Esa sangatlah dashyat hasilnya, bahkan proses ini dapat membuat para grhastas (kepala rumah tangga) dengan mudah mencapai tahapnya para orang-orang suci. Wahai Maharaja Yudhistira, dengan ini aku sudah menerangkan kepadamu proses dari ajaran dharma ini.”  
75. ”Wahai Maharaja Yudhistira yang kuhormati, para Pandawa kesemuanya adalah insan-insan yang teramat beruntung di dunia ini karena selalu dikelilingi oleh berbagai kaum suci, yang mampu membersihkan seisi alam semesta, dan para orang suci ini berkunjung ke kediamanmu seperti layaknya tamu-tamu biasa saja. Lebih dari itu, Sri Kresna (Krishna), Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri, berastana bersama-sama dikau semuanya di kediamanmu, ibarat seorang saudara.”  
76. ”Alangkah menakjubkan bahwa Sri Krishna Sang Para Brahman, Yang Maha Kuasa yang transendental ini, malahan bertindak sebagai penjagamu, sebagai teman dan sepupumu, sebagai jiwa dan kalbu, sebagai pengarah spritual (puja-pujimu) dan sebagai guru spritualmu.”  
77. ”Hadir di sini Tuhan Yang Maha Esa yang wujud aslinya tidak bisa difahami bahkan oleh para dewa seperti dewa Brahma dan Dewa Shiva. Tetapi Beliau bisa disadari oleh para pemujaNya yang telah pasrah secara total. Semoga Beliau, yang merupakan pemelihara seluruh pemuja-pemujaNya, Yang dipuja secara hening, dengan bakti yang penuh dedikasi dan pemasrahan total dan lepas dari berbagai pamrih, sudi melindungi kita semua.”  
78. ”Bersabdalah Sri Sukadewa Goswami kepada Raja Parikesit yang sedang mendengarkan kisah antara Resi Narada dan Raja Yudhistira ini. Maharaja Yudhistira yang terbaik dari dinasti Barata, langsung saja faham akan ajaran-ajaran Resi Narada. Setelah mendengarkan ajaran-ajaran ini, beliau dengan segala suka-cita di dalam kalbunya dan penuh dengan kenikmatan Ilahi, dan penuh dengan prema (cinta kasih Ilahi) dan kasih sayang (terhadap sesama mahluk) dan rasa hormat, memuja Sri Krishna, Yang Maha Esa.”  
79. ”Kemudian Resi Narada, yang dihormati dan dipuja-puji oleh Sri Krishna dan Maharaja Yudhistira mengucapkan salam perpisahan dan kembali kediaman beliau. Maharaja Yudhistira yang baru sadar bahwa sepupunya Sri Krishna adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri, menjadi takjub dan bahagia di dalam kesadarannya ini.” 
80.    Resi Goswami kemudian bersabda kepada Raja Parikesit :
“Di berbagai loka-loka di alam semesta ini berbagai unsur-unsur kehidupan baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, termasuk para dewa-dewi, asuras, dan manusia, kesemuanya ini lahir dari putra-putri Maharaja Daksa, dan telah kuterangkan kesemuanya ini dengan berbagai dinasti-dinastinya kepadamu.”  
Dengan demikian berakhirlah ajaran dharma yang disebut, “petunjuk-petunjuk demi tercapainya kemanusian yang berbudaya dan beradab.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar